Lokasi pengasingan Kiai Modjo dan pasukannya atau kini Kampung Jawa Tondano masih mempertahankan hidup dengan bertani. Meski tidak semua penduduk di sana menjadi petani.
Bahkan, sampai saat ini, Jafar Buchari masih percaya beberapa model pertanian berlaku di Tondano dikembangkan oleh leluhurnya dari Jawa itu. Terutama bagaimana membuat lahan garapan dari daerah basah atau model rawa, kemudian membajak dan merawat hingga memanen hasil pertanian. "Untuk memberhentikan hewan saja masih menggunakan, wesartinya sudah. itu Bahasa Jawa kan, kata Jafar berkelakar saat ditemui merdeka.com akhir bulan lalu di rumahnya, Kampung Jawa, Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara
Kalau masih kurang percaya, dia mencontohkan kusir bendi juga menggunakan kata wes buat memberhentikan kuda penarik. Alat bajak juga memakai Bahasa Jawa, seperti luku. Kemudian garu, terbuat dari kayu berbentuk sisir raksasa ditarik sapi atau kuda untuk menghancurkan tanah sudah diluku.
Sedangkan untuk rumah di Kampung Jawa mengikuti konsep rumah panggung Minahasa, terbuat dari kayu dan beratap seng. Jafar menjelaskan atap seng dipakai agar suhu dalam rumah hangat saat musim dingin. Kalau memilih genteng bisa bertambah dingin atau kian panas ketika musim kemarau. Dua tahun lalu saya rumah panggung, sekarang pakai tembok. Tapi ruang tamu saya gunakan tembok dari kayu jati agar adem, ujar Jafar.
Menurut Lurah Kampung Jawa Sarianto Merkosono, ciri khas Kampung Jawa adalah masjid dan makam Kiai Modjo. Sebagai seorang muslim, kata dia, Kiai Modjo tidak membuat garis pemisah dengan orang-orang di luar Islam. Dia justru bersahabat dan kawin dengan warga setempat. Hal itu harus tetap kami jaga sebagai keturunan Kampung Jawa Tondano meski hidup di mana pun."
Sejak Kiai Modjo dibuang ke Tondano, Belanda menjadikan wilayah itu tempat membuang para tokoh pemberontak. Sebut saja Abdul Halim dan Sigorak Panjang dari Padang, Haji Saparua (Saparua, Ambon), Pangeran Syarif Perbatasari (Banjarmasin), dan Pangeran Ronggodanupoyo (Surakarta).
Kampung Jawa selalu ramai dikunjungi menjelang Ramadan hingga Idul Fitri. Baik dari keturunan Kampung Jawa Tondano atau keluarga mereka pernah dibuang dan dimakamkan di sini," kata Jafar.(src)
Bahkan, sampai saat ini, Jafar Buchari masih percaya beberapa model pertanian berlaku di Tondano dikembangkan oleh leluhurnya dari Jawa itu. Terutama bagaimana membuat lahan garapan dari daerah basah atau model rawa, kemudian membajak dan merawat hingga memanen hasil pertanian. "Untuk memberhentikan hewan saja masih menggunakan, wesartinya sudah. itu Bahasa Jawa kan, kata Jafar berkelakar saat ditemui merdeka.com akhir bulan lalu di rumahnya, Kampung Jawa, Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara
Kalau masih kurang percaya, dia mencontohkan kusir bendi juga menggunakan kata wes buat memberhentikan kuda penarik. Alat bajak juga memakai Bahasa Jawa, seperti luku. Kemudian garu, terbuat dari kayu berbentuk sisir raksasa ditarik sapi atau kuda untuk menghancurkan tanah sudah diluku.
Sedangkan untuk rumah di Kampung Jawa mengikuti konsep rumah panggung Minahasa, terbuat dari kayu dan beratap seng. Jafar menjelaskan atap seng dipakai agar suhu dalam rumah hangat saat musim dingin. Kalau memilih genteng bisa bertambah dingin atau kian panas ketika musim kemarau. Dua tahun lalu saya rumah panggung, sekarang pakai tembok. Tapi ruang tamu saya gunakan tembok dari kayu jati agar adem, ujar Jafar.
Menurut Lurah Kampung Jawa Sarianto Merkosono, ciri khas Kampung Jawa adalah masjid dan makam Kiai Modjo. Sebagai seorang muslim, kata dia, Kiai Modjo tidak membuat garis pemisah dengan orang-orang di luar Islam. Dia justru bersahabat dan kawin dengan warga setempat. Hal itu harus tetap kami jaga sebagai keturunan Kampung Jawa Tondano meski hidup di mana pun."
Sejak Kiai Modjo dibuang ke Tondano, Belanda menjadikan wilayah itu tempat membuang para tokoh pemberontak. Sebut saja Abdul Halim dan Sigorak Panjang dari Padang, Haji Saparua (Saparua, Ambon), Pangeran Syarif Perbatasari (Banjarmasin), dan Pangeran Ronggodanupoyo (Surakarta).
Kampung Jawa selalu ramai dikunjungi menjelang Ramadan hingga Idul Fitri. Baik dari keturunan Kampung Jawa Tondano atau keluarga mereka pernah dibuang dan dimakamkan di sini," kata Jafar.(src)
0 comments :
Post a Comment