Sebagai salah satu keturunan Jawa saya melalui tulisan ini berusaha menapak tilasi asal usul leluhur kami. Adapun tulisan ini kami ambil sumbernya dari Mbah Guru, dari Dewan Pengandhar Sabda Badra Santi di Padepokan Argasoka.
Buku sejarah ini berisi catatan dari tahun 1931 Masehi, dari hasil catatan dan ucapan Eyang Buyut canggah guru desa, dan Eyang Pandhita Kanung di Pareden Kendheng Ngargapura, Pomahan, Sukalila lan Prawata.
Peringatan, pesan dan wasiat para sesepuh Eyang Panembahan Kanung : “Nggeeerr anak putuku.. Tak weling poma-poma aja nganti dilirwakake! Sejarahe canggah wareng leluhur Kanung iki aja nganti keprungu lan diweruhi dening wong sabrang ngatas angin Maghribi. Yen nganti keprojol, awake dhewe mesthi bakal cilaka lan bilahi; klakon dibuwang neng Sawahlunta. Emrehe disirik wong Mutihan wong Kutha.. Mbesok yen wong Kebo Bule wis mulih ning kandhange, crita sejarahe leluhur Kanung iki bakal dilari digoleki dening priyagung Jawa kang mamestri ngleluri kabudayan Jawa. Lhah ing kono anak putuku tedhake wong Kanung aja tidha-tidha supaya mangastuti medhar mbabar sejarahe luhure dhewe iki: Sura Dira Jaya-ning Rat bakal lebur dening Pangastuti”
Yang intinya dalam bahasa indonesia anak cucu diharapkan jangan sampai melupakan sejarah dan budaya Jawanya.
Sejarah leluhur Kanung ini selama jaman penjajahan Belanda dan Jepang terpendam oleh ulah penguasa. Baru setelah Merdeka Riwayat ini mulai tumbuh lagi, meskipun masih ada yang berpendapat bahwa “Tatacara Kuna-Endra sudah sirna di telan jaman, kenapa mesti digali kembali? ketinggalan jaman !”
Namun untuk kita para pecinta sejarah leluhur Kanung tentunya wajib ikut merawat dan melestarikan peninggalan leluhur Kanung ini sebagai Seni-Budaya Jawa ajaran para leluhur nenek moyang kita yang terpendam di bumi nusantara ini.
I. Jaman JAMAJUJA (Puluhan ribu tahun silam)
Pada jaman itu Pegunungan Kendheng terdiri dari dua pegunungan :
1. Pegunungan Kendheng Kidul, dinamakan Pegunungan Kendheng tuwa.
2. Pegunungan Kendheng Lor, dinamakan Nusa Kendheng.
1. Pegunungan Kendheng Kidul
Pegunungan ini terletak mulai dari timur Pegunungan Kabuh, Kabupaten Jombang, terus membujur ke barat sampai ujung Pegunungan Masaran, Kabupaten Sragen.
Karena terjadi gempa, Gunung Lawu jaman 9000an tahun, menyebabkan Pegunungan Watujago tebelah membujur ke barat menjadi Lembah Ngawi untuk jalan aliran sungai Bengawan Sala sampai ke utara melewati daerah Cepu.
Sebelum terjadi gempa besar tersebut,Pegunungan Watujago sampai Pegunungan Masaran itu dihuni manusia yang masih belum berpakaian yang menyerupai monyet orang utan besar, yang makanannya adalah:hewan : kodok, kadal, ula, cacing, jangkrik, belalang, serta buah-buahan : mulwa, srikaya, mete, dhuwet, popohan, nanas lain-lain.
Semua makanan itu tersedia di hutan tempat hidup mereka, tempat tinggal mereka di tempat-tempat yang lebih tinggi, kadang di dahan-dahan besar pepohonan, belum ada yang berani tinggal di gua-gua karena pasti dihuni oleh harimau. Mereka yang meninggal mayatnya ditinggal begitu saja sehingga jadi santapan binatang buas, tulang-tulangnya tercecer di mana-mana sampai hanyut terbawa banjir Bengawan Sala dan terdampar di sekitar Gemolong, Kalijambe, Kabupaten Sragen, yang akhirnya tertimbun lumpur dan cadas Bengawan Sala, ada juga yang sampai di daerah Ngandong, Kabupaten Ngawi.
Manusia di pulau lain yang lebih beradab/berbudaya menamakan mereka dengan sebutan : Wong Legena, ada juga yang menamakan mereka sebagai Gandaruwo, Ada lagi yang menyebut mereka dengan Kethek Limuri.
2. Pegunungan Kendheng Lor
Pegunungan Kendheng Lor (Nusa Kendheng) sekitar 5000 tahun silam sudah dihuni oleh manusia yang lebih maju dari Wong Legena, mereka sudah bisa membuat senjata dari batu yang di asah tajam. Nusa Kendheng pada waktu itu masih berupa pulau besar yang becabang tiga dan dikelilingi Teluk Lodhan dan Laut, di sebelah timur terdapat Teluk Lodhan dan Segara/laut Kening. sebelah selatan dibatasi Segara Selat Kendheng-Kidul dan Segara Teluk Lusi. Sebelah baratnya adalah Segara Teluk Serang yang terhubung dengan Segara Selat Murya. sebelah utara adalah Teluk Juwana dan Samudra Jawa yang sangat luas. Gunung Murya masih bertengger gunung berapi yang tinggi menjulang dikelilingi lautan.
Nusa Kendheng tidak terdapat tanah landai lembah untuk menampung curah hujan, kebanyakan tempatnya berupa pegunungan dengan jurang-jurang terjal yang diantaranya banyak gua-gua. Di daerah Nusa Kendheng tidak ada tanaman padi,gandum, yang ada cuma jalinthing, canthel, dan jagung kodok yang tumbuhn subur yang menjadi bahan makanan monyet, burung bethet dan bantheng. Di hutanya banyak terdapat pohon: jati, trenggulun, sawo-kecik, mete, klethuk, dan mulwa.
Pantainya banyak ditumbuhi pohon :kelapa, bogor (tal), jambe. Pesisirnya yang berupa rawa-rawa banyak ditumbuhi : rembulung, bongaow, dan brayo. Di puncak pegunungannya dipenuhi dengan rumput kalanjana yang tebal dan ililang sebagai tempat kawanan banteng. Banteng betina dinamakan Jawi yang sayang banget sama anak-anaknya. Di malam hari Jawi-Jawi itu kalau tidur melingkar saling beradu pantat untuk melindungi anak-anaknya. Sementara banteng-banteng jantanya sibuk berjaga-jaga disekitarnya menjaga kawanannya jangan sampai diganggu hewan buas.
Pada masa itu di Pegunungan Kendheng Lor sudah dihuni manusia pribumi setempat. Perawakan mereka pendek,kecil,kulit kekuningan kehidupanya masih sangat lugu tapi sudah maju dan berbudaya, pakain berupa cawat dari kuloit pohon waru yang di haluskan dengan dienam atau tulang hewan diucel sampai lembut. Mereka tinggal di gua-gua cadas, berdampingan dengan anjing gladak.
Anak-anak kecil mereka akrab bergaul dengan anak-anak anjing yang sering bercanda sampai gigit-gigitan tapi tidak sampai melukai sampai terengah-engah bersama kecapaian. Kehidupan mereka sudah mulai berburu dan meramu, senjata berupa payal, panah, bedhor, yang di buat dari batu yang di asah. Saat berburu anjing-anjing tadi ikut membantu mengejar hasil buruan mereka. Bahkan kadang ikut menggali umbi-umbian. Hasil buruan di bawa pulang di bakar sekedarnya saja terus di oles abu dari sampah laut sehingga terasa asin mereka makan bersama dengan anjing-anjing tadi. Api mereka dapatkan dari pohon nyang terbakar tersambar petir, dahan ranting keringya membara karena gesekan antar dahan di musim kemarau panjang. Api tadi dibuat penerangan/obor siang malam di sekitar gua, kalau malam sekaligus buat menakuti hewan buas agar tidak mendekat, disamping oleh lolongan anjing-anjing tersebut. Saat purnama datang mereka bersenang-senang di luar gua sambil menari dan bertepuk tangan,mulut mereka juga bersenandung seadanya, tonggak-tonggak kayu di tabuhi. Manusia asli di jaman JAMAJUJA yang hidupnya masih serba sederhana tersebut diberi nama Wong Suku Lingga.
0 comments :
Post a Comment