Ads 468x60px

Monday, June 3, 2013

Napak Tilas Sejarah Asal-Usul Orang Jawa dan Orang Kanung part 2



II. Jaman KUNA-MAKUNA ( sebulum tahun masehi/sebelum nabi Isa lahir)

Penduduk  Nusa Bruney selatan yang tinggal di sepanjang pesisir teluk Sampit dan kanan kirinya Sungai Sampit hilir.Saat itu terjadi wabah besar yang mengakibatkan Orang-orang Sampit itu di ganggu Setan Blarutan sogrok weteng sampai banyak yang tewas jadi korban terutama anak-anak kecil mereka. Mereka yang masih hidup ketakutan dan mengungsi berlayar ke selatan menyeberangi samudra Bruney menuju Nusa Kendheng. Setan Blarutan tidak berani menyeberang mengejar mereka karena takut Bathari Hwa Ruh Na, penguasa Samudra.

Mereka berangkat ke Nusa Kendheng dipimpin oleh sesepuh mereka yang kaya pengalaman,yang telah banyak mengunjungi manca negara bernama  Kie Seng Dhang, setelah berlayar sepuluh hari sepuluh malam maka saat fajar tampak di hadapan mereka Gunung Nusa Kendheng (sekarang gunung Ngargapura Lasem), sisi sebelah timurnya tampak pemandangan yang indah (sekarang jadi desa Pandhangan).

Disitulah asal muasal orang-orang Sampit mendarat dan menjadi cikal bakal bangsa baru dengan nama Wong Jawa.



Para perempuan Sampit suka 'nginang' (mengunyah sirih tapi pakai daun jambe muda/muncang),mulai dari Sapenginang perahu-perahu mereka sudah merapat di pesisir/palwa-palwa sekarang jadi desa plawangan, para pemimpinya membuang dandhan sambil ndokok/menaruk-naruk,sekarang jadi desa Narukan. Perahu-perahu mereka berjejer sepanjang pesisir menghadap ke selatan. Nenek-nenek lebih dulu turun dari perahu dengan membuang sirihnya di laut, sebagai lambang buang sial dari negara asal. Nyi Seng Dhang mengambil cupu berisi tanah abu dari bumi Sampit, ditaburkan di pantai bumi Ngarga Kendheng, terus sembahyang, sujud ke bumi dan menengadah ke langit, sementara kaum wanita yang lain mengikuti sembahyang bersama memohon : “Muga-muga sagotrah krandahe sing padha neneka kuwi padha entuka Kabekjan lan Karahayon pindhah tetruka ning bumi kono, tulusa trah-tumerah turun-tumurun bebranahan nganti pirang-pirang jaman dadi bangsa-anyar neng Nusa Kendheng.” berharap keselamatan dan kebahagiaan sampai turun-temurun.



Kaum lelakinya kemudian menyusul naik ke daratan mencari tempat yang dekat 'tuk'/sumber air untuk tempat tinggal mereka dengan petunjuk dari kakek Kie Seng Dhang yang berjalan sempoyongan tangannya di gandeng cucunya yang berumur 12 tahun berparas cantik jelita bernama Nie Rah kie.



Kakek Kie Seng Dhang berjalan menyusuri hutan,setelah menemukan tempat yang tepat barulah ia perintahkan warganya untuk membuka lahan tersebut untuk tempat tinggal. Putri Nie Rah Kie melihat bunga berwarna putih banyak tersebar disana ada yang sudah mekar ada juga yang masih kuncup baunya sungguh wangi harum . Sang putri terpesona lantas berkata kepada kakeknya: "Kelak kalau sudah punya rumah dan betah akan menanam bunga yang mempesona warna putih itu." Bunga itu kemudian oleh sang putri diberi nama bunga melati.

Sekitar empat bulan hutan tadi sudah jadi perkampungan bertepatan dengan musih hujan saat tanam-tanaman tumbuh subur, mereka merasa tentram tidak kurang makanan.

Untuk memperingati asal-usul Kie Seng Dang tadi dari desa Tanjung Matalayur sebelah timur teluk Sampit bumi Nusa Bruney pesisir selatan, maka pusat desa cikal bakal yang ditinggali Kie Seng Dang dan warganya selanjutnya diberi nama desa Tanjung Putri (sekarang jadi desa Tanjungsari,kecamatan Pandhangan/Kranggan kabupaten Rembang).

Dari hasil rembug desa mereka menghasilkan keputusan :

1. Mengangkat Kie Seng Dhang sebagai Sesepuh dan Dhatu Tanjungputri seumur hidup menata bumi pegunungan dan pesisir Ngargapura mulaidari Pandhangan sampai teluk Lodhan yang pantainya berpasir putih. Teluk tadi dipenuhi hutan pohon 'pung' yang di sebelah timur ada tiga/sam pohon 'pung' dengan ukuran besar (sekarang jadi desa Sampung).

2. Bumi Nusa-Kendheng diganti nama: Tanah Jawi, meniru sebutan untuk  Bantheng betina yang dikeramatkan orang Lingga.Awake dhewe kuwi wis ora aran wong Sampit maneh, ngganti aran; wong Jawa, Nulad watake bantheng-wadhon kang jawa-banget (=gemati, ngerti, wigati) mring pedhet-pedhete. (Bumine aran: Tanah Jawi, menusane aran: Wong Jawa).

3. Mereka lalu menandai tahun awal jadi Wong Jawa, dengan Tahun Jawa Hwuning: 1 = 230 tahun sebelum tahun Masehi dan dibuatkan lambang patung dari batu hitam sebesar manusia,   Kie Seng Dhang duduk di Pongol sebelah timur  Gunung Tunggul. Para sesepuh diwajibkan memakai kalung dari rambutnya sendiri yang dijalin dan di beri gantungan yang terbuat dari batu jae wilis sebesar jari manis mirip patung Kie Seng Dang.

Dapatkan kiriman artikel terbaru langsung ke alamat email. Masukkan email anda ke kolom di bawah ini:

Disponsori oleh : blogrozran

Saya Sarankan Anda Baca Juga



0 comments :

Post a Comment