Ads 468x60px

Monday, May 20, 2013

Yuk Kita Simak Pepali Ki Ageng Selo part 1

Pepali Ki Ageng Selo



PEPALI KI AGENG SELO

PUNCAK-PUNCAK DALAM PANDANGAN

KESUSILAAN, KEFILSAFATAN DAN KETUHANAN

DALAM KESUSASTRAAN JAWA

OLEH :

R.M. SOETARDI SOERYOHOEDOYO




——————————-




BAGIAN I




Nama lagu dan bentuk syair : DHANDHANGGULA.

Jumlah baris tiap bait : Sepuluh.

Suara akhir masing-masing baris : i, a, e, u, i, a, u, a, i, a.

Jumlah suku kata masing masing : 10, 10, 8, 7, 9, 6, 8, 12, 7.







1. Pépali-ku ajinén mbrékati¹), Tur sélamét sarta kuwarasan, Pépali iku mangkene, Aja gawe angkuh, Aja ladak lan aja jail, Aja ati sérakah, Lan aja célimut; Lan aja mburu aléman, Aja ladak, wong ladak pan gélis mati, Lan aja ati ngiwa²).




“Pepali”-ku hargailah (supaya) memberkahi, Lagi pula selamat, serta sehat. Pepali itu seperti berikut : Jangan berbuat angkuh, Jangan bengis dan jangan jahil, Jangan hati serakah, (tamak, loba), Dan jangan panjang tangan; Jangan memburu pujian, Jangan angkuh, orang angkuh lekas mati, Dan jangan cenderung kekiri.

—————————-




1). Pépali berarti ajaran, petunjuk, aturan.




2). Ati ngiwa dalam bahasa Jawa berarti suka menjalankan perbuatan-perbuatan yang harus disembunyikan terhadap umum. Ingatlah maksud “badhe dhateng pakiwan” (Jawa). Bahasa Indonesia : “hendak kebelakang” dan lain sebagainya. Ini masuk ungkapan pelembut atau eufemismus.




Sejak timbulnya pemerintahan yang berdasarkan perwakilan rakyat dan adanya kepartaian yang menentukan tindakan-tindakan pemerintah, yang dimaksud dengan “partai kiri” ialah partai yang mewakili golongan-golongan yang bertujuan mengadakan perubahan-perubahan dalam susunan atau cara pemerintahan, yang sering berhaluan sangat radikal, sehingga membahayakan susunan dan cara pemerintahan yang ada, lebih-lebih karena cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan tadi sering menyimpang dari faham demokrasi yang berlaku (kiri ekstrim).




Dalam agama yang dimaksudkan dengan penganut kiri, ialah orang yang berpendapat, bahwa syariat agama itu tidak perlu dijalankan, sehingga apabila pendapat demikian tadi menjalar dikalangan rakyat, hal itu tentu akan merusak tata tertib agama.




Dalam magic, dengan “kawanan kiri” dimaksudkan ahli-ahli sihir hitam (black magician), yang terutama mengejar kepentingan diri sendiri dan tidak segan-segan melenyapkan siapa saja, yang merintangi terlaksananya tujuan mereka.




2. Padha sira titirua kaki, Jalma patrap¹) iku kasihana, Iku arahén sawabe ! Ambrékati wong iku, Nora kéna sira wadani, Tiniru iku kéna, Pambégane alus, Yen angucap ngarah-arah, Yen alungguh nora pégat ngati-ati,Nora gélém gumampang.




Hendaklah meniru “kaki”²), Janma susila, itu sayangilah, Carilah sawabnya ! (sawab = tuah) Memberi berkah orang itu, Tidak boleh kau mencelanya. Lebih baik menirunya. Pendiriannya halus, Jika mengucap berhati-hati, Jika duduk tiada putus-putusnya berhati-hati, Tidak suka serampangan (menganggap mudah atau gampang.

———————————–




1). ”Jalma patrap” berarti : orang susila, orang beradap. (Sunda : jelema; Indonesia : janma)




Peradapan atau kesusilaan seseorang ditentukan oleh pendirian hidupnya, dan tampak pada tingkah-laku atau sepak terjangnya. Peradaban dan kesusilaan dalam arti kata yang sedalam-dalamnya terkait pada syarat-syarat utama, yaitu dapat mengusai diri sendiri.




Diri pribadi manusia dalam pokoknya tersusun dari tubuhnya perasaannya dan fikirannya. Jadi mengusai diri sendiri berarti :

Menguasai tubuh sepenuhnya; yaitu berarti kemampuan untuk mengusai juga perjalan napfas dan darah, sehingga orang tidak lekas naik darahnya dan tidak mudah dipermainkan oleh urat-sarafnya (nervous). Ini besar faedahnya bagi kesehatan badan.

Mengusai perasaan; yaitu dapat menahan rasa marah, mengkal, susah, takut dan sebagainya, sehingga dalam keadaan bagaimanapun juga orang selalu tenang dan sabar dan oleh karena itu lebih mudah untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang setepat-tepatnya.

Menguasai fikiran; sehingga fikiran itu dalam waktu-waktu yang terluang tidak bergelandangan semau-maunya sendiri dengan tak berarah dan bertujuan, akan tetapi dapat diarahkan untuk memperoleh pengertian dan keinsafat tentang soal-soal hidup yang penting.




“Jalma patrap” atau “manusia susila” dalam Mahabarata diidealisasi dalam tokoh Arjuna. Arjuna tidak kenal rasa takut, gentar, dalam menghadapi keadaan bagaimanapun juga. Ia selalu sabar dan tenang dan selalu diliputi oleh rasa kasih sayang kepada sesama hidup dan karena itu dicintai juga oleh sesama umat manusia. Ia mencintai segala ciptaan Tuhan, yang dianggapnya sebagai kekasih atau isterinya semua dan jarang memikirkan kepentingan diri sendiri. (Arjuna dengan isteri-isterinya sebanyak sejuta kurang satu).




2). Kata “kaki” disini bukan berarti kaki anggota badan untuk berjalan, tetapi “kaki” yang lalu menjadi bahasa Indonesia “kakek” (nenek = panggilan kepada orang yang sudah lanjut usia).




Didalam puisi atau tembang (Jawa) kata “kaki” ialah panggilan untuk anak-anak muda.




3. Sapa sapa wong kang gawe bécik, Nora wurung mbenjang manggih arja, Tékeng saturun-turune. Yen sira dadi agung, Amarintah marang wong cilik, Aja sédaya-daya, Mundhak ora tulus, Nggonmu dadi pangauban. Aja nacah, marentaha kang patitis, Nganggoa tépa-tépa.




Barang siapa yang berbuat baik¹), Tiada urung kelak menemui bahagia¹), Sampai kepada keturunan-keturanannya, Jika kamu manjadi orang besar. Memerintah orang kecil, Jangan keras-keras, Nantinya tan akan tetap, Kamu menjadi pelindung. Jangan sembarangan, perintahlah yang tepat, Pakailah kira-kira²).

—————————




1). Beramal baik, menemui bahagia. Peribahasa ini menunjukkan, bahwa sejak dahulu manusia telah mengakui berlakunya hukum sebab dan akibat mengenai segala peristiwa dalam semesta alam ini. Juga nasib manusia ditentukan dan diarahkan oleh hukum ini. Nasib yang dialami oleh manusia tiada lain daripada hasil pertumbuhan akibat perbuatan-perbuatan dan cita-citanya pada hari-hari yang lampau.




Dalam masyarakat tidak senantiasa tampak berlakunya hukum ini. Perbuatan yang baik tidak selalu berbuahkan hala-hal yang baik, malahan sering kali tidak diakui sama sekali, dan selanjutnya perbuatan yang buruk tidak selalu berakibat buruk, bahkan mendatangkan keuntungan yang menginginkan.




Kepercayaan yang besar dari kaum filsafat India kepada hukum sebab dan akibat ini, mendorong mereka untuk mencari keterangan-keterangan bagi peristiwa-peristiwa dalam masyarakat tersebut diatas. Demikian timbulnya ajaran Karma. Orang tidak hidup hanya satu kali saja didunia ini, akan tetapi berkali-kali, hingga ia menjadi mahkluk yang sempurna. Nasib yang baik yang kita dapati dalam hidup kita dahulu. Demikian juga halnya dengan nasib buruk. Selanjutnya akibat perbuatan yang baik atau buruk, yang belum kita alami dalam hidup kita sekarang ini, akan kita alami dalam hidup yang akan datang, apabila setelah mengalami mati, oarang dilahirkan kembali didalam dunia ini.




2). “Tépa” berarti “ukuran”. Dalam melakukan sesuatu perbuatan baiklah kita selalu ingat,bagaimana perbuatan itu akan diterima oleh orang lain. Jangan melakukan perbuatan terhadap seseorang, yang kita sendiri tidak menyukainya, apabila dilakukan terhadap diri kita. “Tépa-tépa” atau “tépa sélira” ialah satu dari dasar-dasar cara pergaulan hidup, yang disebut tatakrama atau ethica, dan dalam pendidikan merupakan salah satu pengertian, yang pertama harus disadarkan kepada obyek pendidikan.




Dalam pergaulan hidup “tepa selira” sering belum mencukupi. Belum tentu reaksi seseorang itu sama dengan reaksi kita sendiri terhadap sesuatu perlakuan. Maka selain “kenal akan diri sendiri” orang wajib juga mengumpulkan “mensenkennis” (ilmu tentang watak manusia).




4. Padha sira ngesthoké kaki, Tutur ingsun kang nédya utama, Angarjani sarirane. Way nganti séling surup, Yen tumpang suh iku niwasi, Hanggung atélanjukan, Témah sasar susur. Téngraning jalma utama, Bisa nimbang kang ala lawan kang becik. Rasa rasaning kémbang.




Hendaklah diperhatikan kaki, Nasihatku yang bertujuan utama, Membahagiakan dirimu. Jangan sampai salah terima, Bila tumpang balik menewaskan, Selalu keliru, Hingga simpang siur. Tanda manusia utama, Dapat menimbang yang buruk dan baik¹), Rasa dan rasa bunga²).

—————————–




1). Pada umumnya segala perbuatan yang akan mendatangkan manfaat bagi kita atau sesama hidup sebagai akibatnya, itu dipandang sebagai perbuatan baik. Sebaliknya semua perbuatan yang akan berakibat penderitaan, kecelakaan, dan sebagainya bagi diri sendiri atau sesama hidup, lebih-lebih bagi masyarakat, dipandang sebagai perbuatan buruk. Perbuatan yang membawa manfaat bagi seseorang, akan tetapi merugikan orang lain atau masyarakat termasuk perbuatan buruk juga.




2). Dapat menimbang atau membedakan rasa dan rasa bunga. Peribasa ini melukiskan beda antara saksi dan persaksian. Rasa bunga ialah persaksian, rasa yang menyaksikannya. Dalam ilmu karang peribahasa-peribahasa demikian ini digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara manusia sejati (saksi) dengan alat-alat hidupnya. Mengetahui beda antara rasa dan rasa bunga berarti mengenal tubuh, perasaan, akal, ilham dan hidup sendiri sebagai obyek atau sesuatu diluar pribadi.




5. Kawruhana pambengkasing kardi, Pakuning rat lélananging jagad, Pambekasing jagad kabeh, Amung budi rahayu, Sétya tuhu marang Hyang Widi. Warastra pira-pira, Kang hanggung ginunggung, Kasor dening tyas raharja. Harjaning rat punika pakuning bumi, Kabeh kapiyarsakna.




Ketahuilah penyelesai segala kuwajiban, Pros Alam, si Jantan didunia, Pembebas seluruh dunia, Tak lain ialah yang berbudi rahayu,Setia sungguh kepada Yang Maha Kuasa. Senjata ber-macam-macam, Yang selalu dipuji-puji, Kalah dengan hati lurus. Keadilan alam ialah pusat peredaran bumi, Dengarkanlah semua ini.

—————————————




Yang dimaksudkan dengan “poros” atau “pusat alam” ialah jiawa atau inti hidup manusia, sedangkan alam disini ialah “alam dalam manusia sendiri” yang lazim disebut “jagad cilik” (mikrokosmos) sebagai lawan dari “jagad gedhe” (makrokosmos). Jagad = alam, cilik = kecil (sempit, gedhe = besar (luas).




Manusia yang dalam pertumbuhannya telah mengenal pribadi yang sejati dan dengan jerih payah lambat laun telah dapat mengusai gerak perasaan dan fikirannya, sehingga segala perbuatannya tidak lagi merupakan akibat belaka dari pengaruh peristiwa-peristiwa dalam dunia luar, manusia demikian itu telah menjadi pusat dari seluruh alamnya atau mikrokosmosnya sendiri. Ia berkuasa atas seluruh dunia perasaan dan fikirannya, dan karena ia telah menjadi manusia merdeka yang sebenar-benarnya. Ia mendapat sebutan “lélananging jagad” atau si Jantan, karena dalam mikrokosmosnya tidak ada sesuatu lagi yang dapat menentang kehendaknya (tiada godaan lagi yang dapat membelokkan hasratnya untuk berbuat lurus dan jujur). Dengan tercapainya kekuasaan atas diri sendiri, berkembanglah dalam sanubari manusia budi rahayu, yaitu budi, yang hanya bertujuan kebajikan seluruh dunia. Segala usahanya berpusat pada hasarat mengabdikan diri untuk kesejahteraan dan kebajiikan umat semuanya.




Terbukanya baginya tabir yang menutupi rahasia hidup. Adanya Tuhan baginya bukannya suatu rabaan lagi, suatu keharusan yang dipaksakan kepadanya pleh akalnya, akan tetapi seatu kenyataan yang telah disaksikannya sendiri dengan ilmunya. Ucapan “Asyhadu analailaha illallah” baginya benar-benar mempunyai arti !! Karena itu kesetiaannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ialah kesetiaan yang sungguh-sungguh dan murni, dan bukan kesetiaan hasil ajaran atau bimbingan, yang tidak senantiasa tahan uji.




Manusia yang demikian senantiasa dilindungi oleh Tuhan dan terhindar dari segala marabahaya (senjata-senjata yang bertuah dan saktipun tidak dapat mendekatinya). Ia percaya bahwa seluruh evolusi menuju kearah kesejahteraan dan kebajikan, karena Tuhan Maha Pemurah dan Maha Penyayang.




6. Pomapoma anak putu mami, Aja sira ngégungakén akal, Wong akal ilang baguse. Dipun idhép wong bagus, Bagus iku dudu mas picis, Lawan dudu sandhangan, Dudu rupa iku. Bagus iku nyatanira, Yen dinulu asih sémune prakati, Patrap solah prasaja.




Mudah-mudahan anak cucuku, Jangan kamu menyombongkan akalmu, Orang berakal hilang bagusnya.Ketahuilah, orang bagus ! Kebagusan bukan mas picis,




Dan bukan pakaian (yang mentereng), Bukan paras muka. Bagus itu sebenarnya, Menimbulkan rasa sayang, tampaknya memikat hati,Tingkah laku yang sewajarnya (yang tidak dibuat-buat).

—————————




Orang yang suka sombong akan akal atau kepandaiannya, dan senantiasa memperlihatkan, bahwa ia lebih pandai atau cerdik dari pada orang lain, akhirnya dijauhi oleh teman-temannya, apalagi jika kepandaiannya itu digunakan untuk “berbuat pandai” atau menipu dan menjerumuskan orang lain.




7. Lawan aja dhémen ngaji-aji, Aja sira képengin kédhotan, Kadigdayan apa dene, Aja sira mbédhukun, Aja ndhalang lan aja grami, Aja budi sudagar, Aja watak kaum, Kang den ajab mung ruruba, Kaum iku padune cukéng abéngis, Iku kaun sanyata.




Dan jangan gemar akan mukjizat, Janganlah kamu ingin kebal, Kesaktian apa lagi, Jangan kamu menjadi dukun, Menjadi dalang atau berniaga, Jangan berbudi saudagar (berbudi – berwatak), Jangan bertabiat lebai (kaum), Yang diharap-harap hanya keuntungan, Lebai itu kata-katanya tegar dan bengis, Benar demikian lebai itu.

—————————————




Orang yang gemar akan mukjizatan dan sanggup menjalankan segala laku yang diperintahkan oleh guru ilmu dan sering tidak masuk akal sama sekali, sebenarnya sudah meniadakan hukum sebab dan akibat, dan karena itu sudah melumpuhkan akalnya, satu-satunya alat perlengkapan hidup manusia, yang bagaikan pelita memajari jalan hidup manusia. Lagi pula kegemaran akan mukjizat dalam pokoknya bersandar kepada keinginan, ingin lain dari pada orang lain, ingin dipandang sebagai orang terkemuka, ingin dipuji dan sebagainya, yang sesungguhnya harus dicapai dengan jalan lain, yaitu dengan jasa dalam pengabdian diri kepada kepentingan sesama hidup.




Kekebalan dan kesaktian, bila benar dapat dimiliki oleh manusia, kebanyakan berakibat kesombongan, kecongkakan, penindasan dan teror.




Dalam mengupas buah kesusasteraan Ki Ageng Selo, baiklah kita selalu ingat, bahwa pepali ini terutama ditujukan kepada putra-putra dan cucu-cucunya, yang dalam angan-anganya akan memegang kekuasaan dalam pemerintahan.




Dengan demikian dapat dimaklumi mengapa ia melarang keturunanya untuk berniaga. Seorang pegawai pemerintahan sekarang juga tidak diperbolehkan berdagang. Dhukun dan dhalang dianggapnya sebagai penipu.




8. Kumbah, krakah, cukit lan andulit, Miwah jagal, mélantén, kumala, Iku nora dadi gédhe. Wajib sinirik iku, Pan wus aja ngaruh-aruhi, Aja doyan sémbrana, Matuh analutuh, Niwasi barang karya, Wong sémbrana témahane nora bécik. Nyényénges nanjak-nanjak.




Penatu, penjual daging, penjual trasi dan kapur sirih, Pembantai, [emutih dan pedagang akik, Itu tidak akan menjadi besar.Wajib ditegahkan itu, janganlah menegur mereka. Jangan gemar bersenda, Terbiasa terlanjur, Menggagalkan sembarang pekerjaan, Orang bergurau akibatnya tidak baik, Mengejek menonjol-nonjolkan diri.

————————————-




Pekerjaan-pekerjaan tersebut diatas, karena pengaruh kebudayaan India, dianggap dapat menganggukesehatan dan dipandang sebagai pekerjaan hina. Karena itu janganlah bergaul dengan orang-orang yang menjalankan pekerjaan itu.




9. Pae wong kang makrifat séjati, Tingkah una-unine prasaja, Dadi panéngeran gédhene. Eséme kadi juruh, saujare manis trus ati, Iku iangaran dhomas. Wong bodho puniku, Ingkang jéro isi émas, Ingkang nduwe bale kencana puniki, Bola bali kinenca.




Berbedalah orang yang makrifat sejati, Tingkah dan ucapanya bersahaja, Menjadi tanda kebesarannya. Senyumnya bagaikan kental gula, Tiap ucapannya selalu manis terus hati. Itulah yang disebut dhomas. Orang bodoh yang, Jiwanya berisi mas, Yang memiliki tahta kencana ini, Berulang-ulang direncanakan.

——————————–




Ajaran mistik dalam agama Islam dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu : Syariat, Tarikat, Hakikat dam Makrifat. Dalam usaha untuk mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya, yaitu mengenal rahasia hidup dan Ketuhanan, manusia dimisalkan menempuh jalan kesuatu tempat yang tertentu, yang dalam agama Islam dilambangkang dengan perjalanan pergi naik haji.




Untuk dapat sampai kepada tempat itu dengan selamat diperlukan :

Pebekalan yang cukup untuk perjalanan tadi. Ajaran tentang apa yang merupakan perbekalan-perbekalan guna perjalanan tadi didapat dalam bagian-bagian syariat.

Menjalankan latihan-latihan perjalan. Petunjuk untuk latihan-latihan itu dapat diperoleh dalam bagian tarikat. Dalam bahasa Jawa tarikat itu menjadi tirakat !! (matathesis).

Pengetahuan yang mutlak mengenai perlunya perbekalan-perbekalan, seluk-beluk jalan yang akan ditempuh, dan segala sesuatu tentang tempat tujuannya tadi.




Ajaran mengenai segala-galanya ini dapat diperoleh dalam bagian Hakikat.




Dengan perlengkapan-perlengkapan yang serba cukup, sebagai yang dimaksudkan dalam angkan 1, 2 dan 3 diatas, maka manusia sekarang dapat menempuh jalan kearah tujuannya itu dengan selamat (pergi naik Haji) dan dapat menyaksikan dengan mata sendiri kenyataan dari tempat tujuannya itu, atau kenyataan Allah. Dalam bagian syariat hal ini dilambangkan dengan persaksian akan kenyataan Mekah. Inilah yang dimaksudkan dengan Makrifat.




Orang yang sudah makrifat (bahasa Jawa : mripat = mata….. jadi menyaksikan dengan mata batin pribadi) itu, dipandang telah dapat mencapai tujuan manusia yang tertinggi, yaitu mengenal Tuhan Yang Maha Esa, dan diibaratkan sebagai memiliki Tahta Kencana. Tiap kali rencana itu gagal (bolak-balik), akan tetapi bila ia sudah menjadi cukup kuat dan bila pengetahuannya sudah cukup mendalam akhirnya ia lulus dan mencapai tingkat makrifat.




(Bandingkan dengan kata Indonesia : Arif = bijaksana ! Arab : Arafa = tahu, mengerti).




10. Keh tépane mring sagunging urip, Pan uninga ati téngu géngnya, Ingkang sasingkal gédhene. Endhog bisa kéluruk, Miwah géni binakar warih. Iku talining barat, Kawruhana iku !! Manjing atos nora rénggang, Bisa mrojol ing kérép dipun kawruhi, Kang céndhak kéthokana.




Banyak belas kasihan kepada semua yang hidup, Kan mengetahui besar hati tungau,Yang sebesar sebuah singkal. Telur yang dapat berkokok, Dan api yang dibakar dengan air. Itu tali angin, Ketahuilah itu !! Masuk kedalam barang keras tan meratakkan, Dapat menerobos jala yang kedap ketahuilah juga !! Potongolah segala yang pendek !!

——————————–




Dalam kitab Pepali terdapat banyak kalimat yang mengandung paradok, yaitu hal-hal yang berlawanan satu dengan yang lain. Paradok-paradok itu dimaksudkan sebagai teka-teki mengenai soal-soal filsafat.




“Tungau” ialah semacam kutu ayam. “Singkal” ialah tongan kayu yang melintang diatas pisau-bajak atau mata tenggala yang mengesampingkan tanah yang dikeluarkan dari parit, bekas jalan pisau. Dan tanah yang yang menyibak kekanan-kiri “singkal” (karena dibajak) itu disebut juga singkal (Bandingkan dengan : sebungkah tanah !). yang diibaratkan dengan “tungau” ialah manusia yang besarnya jika dibandingkan dengan besar alam yang terbentang ini, tidak melebihi besar tungau dibandingkan dengan besar singkal.




“Hati tungau” ialah ibarat hidup manusia. Manurut filsafat Kejawen, karena hidup atau gerak itu ialah satu-satunya sifat mutlak Tuhan, yang dapat disaksikan oleh mata manusia, dan karena Tuhan itu hanya Satu (Qul huwa Allahu ahad), maka harus hanya ada Satu Hidup juga, yang memenuhi dan meliputi seluruh Alam ini. Jadi hidup tungau (manusia) sebesar sebuah singkal (memenuhi seluruh Alam).




Telur yang dapat berkokok.

Sebenarnya yang dapat berkoko itu bukannya ayam jantan, akan tetapi “hidup” didalamnya, yang mula-mula sudah ada dalam telur.

Orang yang telah mempelajari Ilmu Ketuhanan (Theologie), seperti jago (ayam jantan) yang berkoko-kokok, dapat menerangkan dengan congkak dan sombong segala hal-ihwal tentang Tuhan dan hal-hal lain mengenai Ilmu Kebatinan. Akan tetapi sebenarnya semua yang diterangkan itu diketahuinya tidak dari pengalaman atau dari persaksian sendiri, melainkan semata-mata dari buku-buku atau ajaran-ajaran orang lain. Walaupun jiwanya belum terbuka (kulit telur belum pecah) ia sudah dapat memberi keterangan mengenai ilmu-ilmu yang muluk-muluk, dengan bangga. (ayam jantan yang berkoko-kokok).




“Api yang dibakar dengan air”. Air biasanya digunakan sebagai lambang pengetahuan atau ilmu. Api ialah api akal manusia. Jadi paradok ini bermaksud : Akal manusia yang berkembang dengan kuat karena disiram pengetahuan.




Kendali (tali) angin. Angin ialah ibarat hawa-nafsu. Kendali (tali) ialah akal manusia, alat untuk mengusai nafsu.




“Masuk kedalam benda keras tan meratakkan dan dapat menerobos jala kedap”. Yang dimaksudkan disini ialah hidup yang dapat keluar dari badan dengan tak meninggalkan bekas.




“Potongilah yang pendek”. Tolak atau berantaslah segala perbuatan serampangan (yang tidak difikirkan dengan panjang-panjang tentang akibatnya). Jangan singkat budi, lekas marah, gegabahan dan sebagainya.




11. Aja watak sira sugih wani, Aja watak sok ngajak tujaran, Aja ngéndélkén kuwanen, Aja watak anguthuh, Ja ewanan lan aja jail, Aja ati canthula, Ala kang tinému. Sing sapa atine ala, Nora wurung bilahi pinanggih wuri, Wong ala nému ala.




Jangan berwatak menyombongkan keberanian, Jangan berwatak sering suka bertengkar, Jangan menyandarkan diri pada keberanian, Jangan berwatak tak tahu malu, Jangan irihati dan jangan jahil, Jangan berhati lancang, Buruk yang didapat, Barang siapa berhati jahil, Tiada urung celaka akhirnya didapat, Orang jahat menemukan jahat.

————————————-




Bait tersebut hendak mengambarkan adanya hubungan sebab akibat dalam rantai nasib manusia.




12. Poma-poma anak, putu sami, Aja sira méngeran busana, Aja ngéndélkén pintéré, Aja anggunggung laku. Ing wong urip dipun titeni, Akétareng basa, Katandha ing sému. Sému bécik, sému ala, Sayéktine ana tingkah solah muni, Katon amawa cahya.




Mudah-mudahan anak, cucu, semua, Jangan bertuhan kepada perhiasan, Jangan congkak akan kepintaranmu, Jangan menyanjung-nyanjung laku. Itu disaksikan oleh sesama-hidup, Terlihat dalam budi-bahasmu, Tertanda pada roman-mukamu. Semu baik, semu jahat, Sebenarnya berkata dalam tingkah-laku, Tampak pada cahaya.

——————————————-




Dalam hidup, manusia janganlah terlalu tinggi menghargai benda-benda keduniawian, mas, intan, lain-lain batu-permata dan pakaian-pakaian yang mentereng, pendek kata segala-galanya yang bersifat perhiasan dan memuja-mujanya seolah-olah benda itu Tuhan sendiri.




Selanjutnya manusia jiga tidak boleh terlalu sadar akan kepintaran, kecerdasan dan kecerdikannya, yang telah didapat dari pendidikannya. Sifat demikian ini banyak terdapat pada kaum cerdik pandai kita, lebih-lebih mereka mempunyai gelar universitas, Drs, Sh, Ir, dan sebagainya, yang sering meremehkan orang-orang lain yang tidak mendapat didikan akademis. Sebenarnya sifat demikian ini sangat menurunkan derajad kaum cerdik pandai kita, sebab selain menunjukkan sifat-sifat kesombongan yang tidak pada tempatnya, juga memperlihatkan kedangkalan pengetahuan mereka. Semakin mendalam ilmunya, manusia itu semakin sadar bahwa apa yang telah diketahui itu sebenarnya hanya sedikit sekali. “Seperti ilmu padi, semakin tunduk, semakin berisi.”




Yang dimaksudkan dengan laku disini ialah cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan kemukjizatan menurut ajaran ilmu sihir dan sebagainya. Jangan terlalu menjunjung-junjung ilumu semacam itu karena akhirnya hanya akan menyesatkan saja.




13. Aja sira amadhakkén jalmi, Amarentah kaya sato kewan, Kébo, sapi, miwah iwen. Aja sira prih wéruh, Kaya wong, pan nora ngréti. Aja kaya si Soma, kVbone pinukul. Sababe sinau maca, Yen bisaa nora beda padha urip,Mulane awéwuda.




Jangan kau persamakan dengan manusia, Bila kau perintah hewan, Kerbau, sapi dan unggas. Jangan mencoba mengajarnya, Sebagai manusia, karena tidak mengerti. Jangan seperti si Soma, Kerbaunya dipukuli. Sebabnya kau telah belajar membaca. (tidak buta huruf), Sedapat-dapat perlakukanlah dengan baik, tak beda sesama hidup. Asal-mulanya telanjang juga.

———————————————–




Asal-mula semua makhluk itu sama dengan asal-mula manusia, yaitu hidup sejati, sebagai sifat murni Tuhan. Hidup sejati yang belum ber-ruh, berjiwa, berperasaan, berfikir, bertubuh dan berpancaindera, disini dilambangkan sebagai sesuatu yang telanjang. Manusia wajib mencintai dan memperlakukan dengan sebaik-baiknya semua makhluk, karena mereka itu berakar juga pada Tuhan. Mencintai dan menghormat semua makhluk berarti mencintai dan menghormat Penciptanya, yaitu Tuhan.




14. Ayam ginusah yen munggah panti, Atanapi lamun mangan béras, Kébo ingadhangan bae, Iku wong olah sému, Lamun sira tétanggan kaki, Yen layak ingaruhan, Aruhan iku. Yen tan layak-énéngéna, Apan iku nggémeni darbek pribadi, Pan dudu rayatira.




Ayam dihalau jika hendak masuk rumah, Kalau-kalau nanti makan beras, Jika kerbau dihalang-halangi saja, Itu tindakan orang yang belajar hal-ihwal. Apabila kamu bertetangga dengan dia buyung. Kalau sudi ditegur-sapa, Kenalilah ia. Jika tidak sudi, diamkanlah saja,Lagi pula bukan keluargamu.

——————————————-




Maksud dari bait ini ialah supaya kita berkenalan dengan orang-=orang yang mempunyai kebijaksanaan dan kewaspadaan, yaitu orang-orang yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari, berdasarkan gejala-gejala yang dapat disaksikannya sekarang dan dengan mengambil tindakan-tindakan yang tepat dapat menghindarkan hal-hal, yang tidak disukainya. Demikian itu apabila orang tadi suka berkenalan dengan kita. Bila ia tidak suka berkenalan dengan kita, maka tidak perlu kita dengan merendah-rendahkan diri berusaha berkenalan dengan orang tadi. Mungkin ia takut, bahwa, apabila ia bergaul dengan kita, kita akan menjadi bijaksana dan waspada juga. Diantara orang-orang yang pandai, memang sering ada yang tidak suka menerimakan kepandaiannya itu kepada orang lain. Kepandaiannya itu ingin dimilikinya sendiri, supaya tidak ada lain orang yang menyamainya. Orang demikian itu tidak perlu kita tegur dan kita tunjukkan kesalahannya, karena ia tidak termasuk keluarga kita.




15. Patrapéna rayatira kaki, Anak, putu, sanak, présanakan, Enakéna ing atine. Lamun sira amuruk, Wéruhéna yen durung sisip. Yen wus katiwasan, Aja sira tuduh. Kelangan tambah duraka, Yen wus tiwas sira umpah-umpah kaki !! Tur iku mundhak apa !??




Jalankanlah terhadap keluargamu cucuku, Anak, cucu, sanak, persaudaraan, Enakkanlah hati mereka. Kalau kau mengasuh, Beritahulah sebelum khilaf. Jika sudah bersalah, Janganlah ditegur-tegur. Rugi tambahan pula durhaka, Bila sudah salah diumpat-umpat lagi cucuku ! Dan lagi apa manfaatnya !??

——————————————-




Dalam mengasuh atau mendidik, orang jangan bersifat negatif, dengan mencela atau menegur-negur saja, ketika anak-didik bertindak keliru. Sebab pada umumnya orang atau lebig-lebih anak-anak itu tidak berbuat salah dengan sengaja atau dengan benar-benar sadar akan kesalahannya.




Kalau pendidikan itu benar-benar pendidikan, sifatnya harus positif, yaitu anak-anak harus diberitahu perbuatan-perbuatan mana yang termasuk perbuatan salah dan mana yang termasuk benar, berdasarkan pandangan-pandangan yang dapat dimengerti oleh anak-anak.




Sebagai pangkalan misalnya dapat diberitahukan, bahwa semua perbuatan yang akibatnya akan merugikan diri sendiri itu terang salah. Berdasarkan “tepa salira”, maka semua perbuatan yang akibatnya akan merugikan atau melukai hati orang lain tentunya juga termasuk perbuatan salah.




Sebaliknya semua perbuatan yang akibatnya akan menguntungkan diri sendiri dan orang-orang lain, termasuk perbuatan-perbuatan baik.




Berdasarkan pandangan-pandangan ini dapat diberikan pengetahuan tentang arti : nista, madya dan utama. Nista ialah perbuatan yang hanya bertujuan keuntungan bagi diri sendiri dengan tidak memperdulikan kepentingan orang lain, yang nampak dalam bentuk yang seburuk-buruknya sebagai perbuatan korupsi dan pengkhianatan terhadap Negara. Madya ialah perbuatan-perbuatan yang menguntungkan diri sendiri dan sementara orang lain, sedangkang selanjutnya tidak ada fihak-fihak lain yang dirugikan. Utama ialah perbuatan-perbuatan yang menguntungkan orang lain, masyarakat atau bangsa dan dilakukan dengan pengorbanan kepentingan diri sendiri.




Pangkal lain untuk membedakan perbuatan salah dan benar atau buruk dan baik, ialah rasa cinta. Semua perbuatan yang dijalankan karena dorongan rasa cinta ialah perbuatan yang baik. Sebaliknya semua perbuatan yang dijalankan karena dorongan rasa benci termasuk perbuatan buruk.




Selanjutnya pendidikan yang bersifat positif harus berusaha untuk membuat rasa nyaman atau membesarkan hati anak didik. Anak didik harus disadarkan, bahwa nilainya yang sesungguhnya itu tidak beda dari nilai orang-orang lain, meskipun dari para sarjana atau orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Apa yang dapat dicapai oleh para sarjana dan orang-orang tinggi lainnya itu, dapat dicapainya juga. Syarat-syaratnya hanya kehendak yang sungguh-sungguh dan mengetahui jalan yang harus ditempuh. Maksud dari semua ini ialah untuk menimbulkan dan memupuk rasa hargadiri dan kepercayaan pada diri sendiri, yang memupuk rasa hargadiri dan kepercayaan kepada Tuhan. Inilah yang dimaksudkan dengan “mengenakkan hati” anak-didik. (bikin enak hati).




16. Bumi, géni, banyu miwah angin, Pan srengenge, lintang lan rémbulan, Iku kabeh aneng kene. Ségara, jurang, gunung, Padhang péténg, padha sumandhing, Adoh kalawan pérak, Wus aneng sireku. Mulane ana wong agucap, Sapa bisa wong iku njaringi angin, Jaba jalma utama.




Bumi, api, air serta angin, Matahari, bintang dan bulan, Itu semuanya ada disini. Laut, lembah dan gunung, Terang dan gelap ada disamping, Jauh dan dekat, Sudah ada dalam dirimu. Karena itu ada orang yang berkata : Siapa yang dapat menjala angin, Kecuali manusia utama.

——————————————




Hidup ialah sumber segala tenaga dan gaya. Selanjutnya tenaga (energi) itu ialah asal-mula segala zat yang ada dalam Alam ini.




Pandangan filsafat jaman kuna itu telah dibuktikan kebenarannya oleh perkembangan ilmu Kimia-Fisika akhir-akhir ini. Pembuatan bom atom berdasarkan atas perubahan massa (zat) menjadi tenaga. Bila zat dapat menjelma menjadi tenaga, maka sebaliknya tenaga harus dapat juga menjadi zat, atau dengan perkataan lain zati itu tiada lain dari pada penjelmaan tenaga. Karena hidup ialah sumber segala tenaga dan tenaga ialah asal mula zat, maka segala zat dalam alam ini sudah terkandung dalam hidup.




Demikian juga halnya dengan ukuran ruang, jauh dan dekat. Menurut filsafat ketimuran, waktu dan ruang itu sebenarnya tidak ada. Waktu dan ruang ialah hasih penipuan pancaindera (zinsbegocheling). Menurut ilmu pasti benda itu terdiri atas titikmateri-titikmateri yang tak terhingga banyaknya membentuk sebuah garis. Garis itu tak dapat disaksikan, karena hanya mempunyai satu dimensi (panjang) dan takmempunyai ukuran lebar atau tinggi. Sederet garis-garis yang tak terhingga banyaknya membentuk sebuah bidang. Bidang itu tidak dapat disaksikan juga, karena hanya mempunyai dua ukuran, yaitu panjang dan lebar, dan tak mempunyai tinggi atau tebal.




Setumpukan bidang-bidang yang tak terhingga banyaknya membentuk sebuah benda. Benda itu dapat dipersaksikan dengan panca-indera, karena mempunyai tiga ukuran (dimensi); yaitu panjang, lebar dan tinggi. Akan tetapi karena benda tadi terdiri unsur-unsur yang tidak dapat dipersaksikan, yaitu titik-titik, garis-garis dan bidang-bidang, maka konsekwensinya benda dan ruang itu sebenarnya tidak ada. Ruang dan waktu adanya hanya sebagai manifestasi hidup, yang mula-myla mengandungnya. Maka “jauh dan dekat” sudah ada dalam diri pribadi.




Angin dalam baris k 9 ialah lambang hawa nafsu dan fikirang. Orang yang dapat menjala angin berarti orang yang dapat menguasai perasaan dan fikirannya.




17. Tama témén tumaném ing ati, Atinira tan nganggo was-was, Waspadha marang ciptane. Tan ana liyanipun, Muhung cipta harjaning ragi, Miwah harjaning wuntat. Ciptane nrus kalbu, Nuhoni ingkang wawénang. Wénangira kawula punika pasthi, Sumangga ring kadarman.




Baik dan jujur tertanam dalam hati, Hatinya tak mengandung was-was (galau), Waspada terhadap ciptanya.Tak ada lainnya, Dalam ciptanya hanya kebahagiaan badan, Dan kebahagian dikemudian hari. Ciptanya meresap dalam kalbu, Meyakini kepada Yang Kuasa. Kekuasaan hamba itu sesungguhnya pasti, Terserah kepada kemurahan Tuhan.

——————————–




Hidup manusia bergiliran berpusat dalam hati, sebenarnya dalam jantung (perasaan) dan dalam otak (fikiran). Bersatu-padunya perasaan dan fikiran ialah cipta.




Keterangan diperoleh bila cipta berpusat dihati. Dalam keadaan demikian itu lenyaplah segala perasaan wawas dan manusia mengerti, bahwa ia hanya suatu alat belaka, yang harus melakukan perintah Tuhan.

Dapatkan kiriman artikel terbaru langsung ke alamat email. Masukkan email anda ke kolom di bawah ini:

Disponsori oleh : blogrozran

Saya Sarankan Anda Baca Juga



0 comments :

Post a Comment