Napak Tilas Asal Usul Orang Jawa dan Orang Kanung part 7
III. Jaman KUNA-KOBRA ( Tahun Jawa-Hwuning: 230 = Tahun 1 Masehi )
Diceritakan pada suatu malam ketika orang-orang Pambelah Pandhangan sedang duduk-duduk di pantai, mereka saling membicarakan tentang kenangan mereka. Semenjak leluhur mereka mendarat di bumi Pandhangan kalau dihitung-hitung sudah ada sepuluh turunan.
Hal itu diketahui dari kayu penopang di ruangan Pedhnyangan Tanjungputri ada coretan/goresan sebanyak 230 coretan, coretan itu sebagai pengingat semenjak mendarat leluhure lamanya sudah 230 tahun ( satu coretan = satu tahun) Dalam menghitung sepuluh turunan itu dari mulai Dhanyang Kie Seng Dhang. Saat duduk-duduk itu tiba-tiba orang-orang tadi dikagetkan dengan pemandangan yang indah di langit malam itu. Di langit sebelah barat laut ada bintang jatuh/meteor yang meluncur dari selatan ke timur, melintas di atas laut Jawa dan Laut Kening.
Pagi harinya orang-orang banyak yang ramai membicarakan kejadian malam itu. ada yang menanyakan ke Ahli nujum yang diramalkan ; " Di negara Maghribi Rajanya sedang mengumpulkan rakyatnya masuk ke kota untuk disensus/di hitung jumlahnya. Ada sepasangan yang laki-laki dengan istrinya yang hamil tua tidak kebagian tempat tinggal akhirnya bermalam di kandang kambing di pinggir desa. Tiba-tiba di kandang itu wanita tersebut melahirkan anak laki-laki, menurut sang nujum itu : "kelak bayi itu kalau sudah dewasa bakal menjadi Raja besar tapi tidak mempunyai istana, tidak pernah duduk di singgahsana, tidak memiliki prajurit bersenjata, menaklukkan musuh tidak dengan memerangi atau menyiksa, cuma dengan cinta kasih. Hidupnya tidak diliputi harta kekayaan, hanya beratap langit berselimut mega, mengembara menjelajahi desa-desa, menyebarkan pemahaman kebahagiaan hidup yang terasa aneh banget pada masa itu. Orang-orang Pambelah tercenung mendengar ramalan tersebut. Selang seminggu setelah kejadian yang luar biasa itu orang-orang Sampung banyak yang bermimpi, dalam mimpi mereka merasa banyak ikan Pesut-Lodhan dan Banteng mengamuk merusak Banjar Sampung merobohkan rumah dan mengejar manusia untuk dibunuh.
Pada suatu hari di saat mereka tidur nyenyak dimalam hari tiba-tiba terjadi huru-hara besar : Badai topan dan angin ribut laut Jawa dan Laut Kening seperti dilebur, ombak besar melanda sampai ke daratan dan teluk Lodhan, lereng gunung Ngarga sebelah timur longsor. Prahara tersebut terjadi disebabkan gunung Agung Sengkapura meletus. ( Tahun Jawa-Hwuning 230 / 1 masehi) Pulau Bawean Sengkapura Hilang sebagian, lahar dan batu panas berhamburan di angkasa, hujan abu di mana-mana mengurug laut Jawa. Teluk Lodhan berubah jadi daratan Kragan, Sarang, Sedhan (kabupaten Rembang). Laut Kening berubah menjadi daratan pesisir utara Kabupaten Tuban. Di sebelah selatan tersisa Bengawan Solo mulai Kradenan ku utara sampai di Cepu, terus belok ke timur jadi sungai Kethek, Lalu jadi rawa Widhang sampai bumi embet Pangkah/Sidayu, alirannya muntah di laut Supitan Medunten.
Di tahun 50 Masehi daratan bekas laut itu berubah menjadi hutan dengan aneka tumbuhan. Orang-orang Tanjungputri sebelah utara Ngargapura mulai berani dan membuka desa di pesisir utara laut Kening, yang buminya sela-selanya berupa batu gamping sampai di tepi laut banyak terdapat mata air, airnya tawar, jernih. Lahan yang baru di buka itu diberi nama desa Mituk (sekarang desa Beti/Bektiharjo)
Di tahun 100 masehi, desa Mituk jadi Banjar/ kota besar menghadap ke utara melewati daerah pagenang yang tanahnya berwarna kuning kemerahan,karena sudah jadi kota besar dan dekat laut, para Pambelah/Nelayan membuat pelabuhan di psesirnya,pelabuhan itu jadi tempat singgah para pelaut/pedagang dari manca negara, dan melakukan transaksi dagang, di kalangan orang manca daerah banjar Mituk itu lebih terkenal dengan nama banjar Sitijenar. Orang-orang dari Tanjungputri Jawa-Hwuning yang jumlahnya lebih banyak, sepakat mengangkat salah satu tokohnya dari keturunan Tanjungputri, bernama Hang Tsu Hwan sebagai Dhatu/kepala adat banjar Sitijenar. Kemudian Dhatu Hang Tsu Hwan menetapkan kota pusat pemerintahan kota Sitijenar yakni Kota Begja Agung (yang sekarang umum disebut: Bejagung)
Kemudian pada tahun 107 masehi, Dhatu Hang Tsu Hwan sudah bisa menyatukan banjar-banjar di pesisir lor tanah Jawa, kota Begja Agung kemudian dijadikan pusat banjar-banjar tadi, dan dinamakan Negara Jawa Purwa. Mulai masa pemerintahan Hang Tsu Hwan orang-orang Nusa Jawa Pegon itu sudah banyak yang berdagang di banjar Sitijenar, dengan harapan Nusa Jawa Pegon itu menyatu dengan negara Dhatu Hang Tsu Hwan (tempat menamai tadi: Dhatu Hang Tu-Ban= pemerintah Tuban).
III. Jaman KUNA-KOBRA ( Tahun Jawa-Hwuning: 230 = Tahun 1 Masehi )
Diceritakan pada suatu malam ketika orang-orang Pambelah Pandhangan sedang duduk-duduk di pantai, mereka saling membicarakan tentang kenangan mereka. Semenjak leluhur mereka mendarat di bumi Pandhangan kalau dihitung-hitung sudah ada sepuluh turunan.
Hal itu diketahui dari kayu penopang di ruangan Pedhnyangan Tanjungputri ada coretan/goresan sebanyak 230 coretan, coretan itu sebagai pengingat semenjak mendarat leluhure lamanya sudah 230 tahun ( satu coretan = satu tahun) Dalam menghitung sepuluh turunan itu dari mulai Dhanyang Kie Seng Dhang. Saat duduk-duduk itu tiba-tiba orang-orang tadi dikagetkan dengan pemandangan yang indah di langit malam itu. Di langit sebelah barat laut ada bintang jatuh/meteor yang meluncur dari selatan ke timur, melintas di atas laut Jawa dan Laut Kening.
Pagi harinya orang-orang banyak yang ramai membicarakan kejadian malam itu. ada yang menanyakan ke Ahli nujum yang diramalkan ; " Di negara Maghribi Rajanya sedang mengumpulkan rakyatnya masuk ke kota untuk disensus/di hitung jumlahnya. Ada sepasangan yang laki-laki dengan istrinya yang hamil tua tidak kebagian tempat tinggal akhirnya bermalam di kandang kambing di pinggir desa. Tiba-tiba di kandang itu wanita tersebut melahirkan anak laki-laki, menurut sang nujum itu : "kelak bayi itu kalau sudah dewasa bakal menjadi Raja besar tapi tidak mempunyai istana, tidak pernah duduk di singgahsana, tidak memiliki prajurit bersenjata, menaklukkan musuh tidak dengan memerangi atau menyiksa, cuma dengan cinta kasih. Hidupnya tidak diliputi harta kekayaan, hanya beratap langit berselimut mega, mengembara menjelajahi desa-desa, menyebarkan pemahaman kebahagiaan hidup yang terasa aneh banget pada masa itu. Orang-orang Pambelah tercenung mendengar ramalan tersebut. Selang seminggu setelah kejadian yang luar biasa itu orang-orang Sampung banyak yang bermimpi, dalam mimpi mereka merasa banyak ikan Pesut-Lodhan dan Banteng mengamuk merusak Banjar Sampung merobohkan rumah dan mengejar manusia untuk dibunuh.
Pada suatu hari di saat mereka tidur nyenyak dimalam hari tiba-tiba terjadi huru-hara besar : Badai topan dan angin ribut laut Jawa dan Laut Kening seperti dilebur, ombak besar melanda sampai ke daratan dan teluk Lodhan, lereng gunung Ngarga sebelah timur longsor. Prahara tersebut terjadi disebabkan gunung Agung Sengkapura meletus. ( Tahun Jawa-Hwuning 230 / 1 masehi) Pulau Bawean Sengkapura Hilang sebagian, lahar dan batu panas berhamburan di angkasa, hujan abu di mana-mana mengurug laut Jawa. Teluk Lodhan berubah jadi daratan Kragan, Sarang, Sedhan (kabupaten Rembang). Laut Kening berubah menjadi daratan pesisir utara Kabupaten Tuban. Di sebelah selatan tersisa Bengawan Solo mulai Kradenan ku utara sampai di Cepu, terus belok ke timur jadi sungai Kethek, Lalu jadi rawa Widhang sampai bumi embet Pangkah/Sidayu, alirannya muntah di laut Supitan Medunten.
Di tahun 50 Masehi daratan bekas laut itu berubah menjadi hutan dengan aneka tumbuhan. Orang-orang Tanjungputri sebelah utara Ngargapura mulai berani dan membuka desa di pesisir utara laut Kening, yang buminya sela-selanya berupa batu gamping sampai di tepi laut banyak terdapat mata air, airnya tawar, jernih. Lahan yang baru di buka itu diberi nama desa Mituk (sekarang desa Beti/Bektiharjo)
Di tahun 100 masehi, desa Mituk jadi Banjar/ kota besar menghadap ke utara melewati daerah pagenang yang tanahnya berwarna kuning kemerahan,karena sudah jadi kota besar dan dekat laut, para Pambelah/Nelayan membuat pelabuhan di psesirnya,pelabuhan itu jadi tempat singgah para pelaut/pedagang dari manca negara, dan melakukan transaksi dagang, di kalangan orang manca daerah banjar Mituk itu lebih terkenal dengan nama banjar Sitijenar. Orang-orang dari Tanjungputri Jawa-Hwuning yang jumlahnya lebih banyak, sepakat mengangkat salah satu tokohnya dari keturunan Tanjungputri, bernama Hang Tsu Hwan sebagai Dhatu/kepala adat banjar Sitijenar. Kemudian Dhatu Hang Tsu Hwan menetapkan kota pusat pemerintahan kota Sitijenar yakni Kota Begja Agung (yang sekarang umum disebut: Bejagung)
Kemudian pada tahun 107 masehi, Dhatu Hang Tsu Hwan sudah bisa menyatukan banjar-banjar di pesisir lor tanah Jawa, kota Begja Agung kemudian dijadikan pusat banjar-banjar tadi, dan dinamakan Negara Jawa Purwa. Mulai masa pemerintahan Hang Tsu Hwan orang-orang Nusa Jawa Pegon itu sudah banyak yang berdagang di banjar Sitijenar, dengan harapan Nusa Jawa Pegon itu menyatu dengan negara Dhatu Hang Tsu Hwan (tempat menamai tadi: Dhatu Hang Tu-Ban= pemerintah Tuban).
0 comments :
Post a Comment